“Huh.. Mengapa sih saya harus pensiun? Karena saya pensiun, orang-orang di sekitar saya sudah tidak hormat dan tidak menghargai saya lagi. Mendingan saya tetap di kantor aja bekerja, saya merasa jauh lebih bahagia..”
Post-Power Syndrome merupakan gejala ketidakstabilan psikis yang dapat ditemukan pada orang lansia yang telah pensiun dari pekerjaannya.
Seperti yang telah diketahui sebelumnya, bekerja merupakan suatu aktivitas hidup dalam upaya pemenuhan biaya kebutuhan hidup. Akan tetapi, secara tidak langsung bekerja telah memelihara kesehatan mental orang dengan cara membina hubungan dekat dengan teman sejawat di tempat kerja. Di samping itu, insentif dan penghargaan non-material dari tempat kerja dapat memberikan kebanggaan tersendiri dari para pekerja.
Persepsi dan tipe kepribadian lansia sendiri sangat memengaruhi kemampuan adaptasi lansia terhadap perubahan kondisi hidup setelah pensiun. Post-Power Syndrome umumnya menimpa lansia baru pensiun yang memiliki tuntutan hidup dan cita-cita pekerjaan yang tinggi, serta menduduki posisi yang tinggi semasa mudanya. Sehingga, lansia-lansia kerap akan merasa tidak dianggap dan tidak dihormati seperti dahulu.
Kehilangan rutinitas yang telah dikerjakan selama berpuluh-puluh tahun sejak muda dan pendapatan yang relatif berkurang tentunya berdampak bagi kehidupan para lansia pensiunan. Tidak sedikit dari para lansia pensiunan yang mengalami mental shock yang hebat karena perubahan gaya hidupnya dan malah merasa pensiun sebagai suatu kerugian dalam hidup.
Lambatnya adaptasi para lansia dengan post-power syndrome memberikan dampak terhadap kesehatan psikis dari lansia tersebut. Gagalnya proses adaptasi lansia dalam kasus ini menimbulkan stress berlebih, depresi, ansietas, perasaan tidak bahagia, dan hilangnya harga diri. Hal ini tentunya membuat para lansia dengan post-power syndrome cenderung murung, mudah marah, moody, dan tidak puas dengan kondisinya setelah berhenti bekerja.
Bila tidak segera ditangani, kesehatan mental yang terganggu pada lansia dengan post-power syndrome akan berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mengubah sikap dan perilaku lansia. Lansia yang menderita post-power syndrome cenderung mengalami penuaan yang lebih cepat dibandingkan saat ia masih memiliki posisi pada pekerjaannya. Hal ini dapat terlihat dari perubahan tubuh secara cepat seperti memutihnya rambut, berkeriput, dan menurunnya kondisi tubuh.
Oleh sebab itu, perlu penanganan yang matang dalam mempersiapkan lansia, terutama lansia yang berisiko tinggi untuk menderita post-power syndrome, untuk menghadapi masa pensiunnya. Lansia harus dipersiapkan mentalnya untuk dapat merasa percaya diri dan memiliki penguasaan dirinya bahkan di saat pensiun nanti. Saat pensiun, lansia juga harus diajarkan untuk mengatasi rasa ansietas-nya, dan memikirkan hidup pasca-pensiunnya dengan pandangan yang lebih positif, mulai dari status ekonominya dan rasa kepuasaan dalam hidup.
Kita, sebagai orang-orang yang dekat dengan lansia yang kita cintai, juga dapat melakukan sesuatu untuk mencegah dan mempersiapkan para lansia menghadapi masa pensiunnya. Keluarga terdekat berperan penting untuk menciptakan lingkungan yang suportif sehingga para lansia dapat menerima dan beradaptasi dengan baik di dalam menjalani perubahan bermakna dalam hidupnya. Hal ini dapat dilakukan dengan mendukung, memuji, tetap menghormati, dan menemani lansia tersebut. Bila lingkungan yang suportif tersebut belum cukup untuk mengatasi gangguan psikis maupun fisik yang disebabkan karena post-power syndrome, penanganan cepat dan lebih lanjut dengan tenaga professional harus segera didapatkan.
![](https://static.wixstatic.com/media/9e5dc9_7984e24a52584e6cbbc86459e40cf6dc~mv2.png/v1/fill/w_678,h_450,al_c,q_85,enc_auto/9e5dc9_7984e24a52584e6cbbc86459e40cf6dc~mv2.png)
Referensi:
Elia. (2003) Post Power Syndrome. http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel079. (diakses tanggal 20 Oktober 2020)
Haditono. (1989) Mempersiapkan Diri Menghadapi Masa Pensiun. Yogyakarta: UGM Press.
Santoso, Agus & Lestari, Novia Budi. (2008) Peran Serta Keluarga pada Lansia yang Mengalami Post Power Syndrome. Jurnal Media Ners, 2(1).
Suyanto AR. (2016) Post-Power Syndrome dan Perubahan Perilaku Sosial Pensiunan Guru. Psympathic Jurnal ilmiah Psikologi, 3(1):77.
Commentaires