Mungkin sebagian lansia kurang akrab dengan istilah Post-power syndrome. Padahal, kondisi ini kerap dialami oleh banyak lansia. Bekerja bagi sebagian orang adalah pencapaian yang besar dalam hidup sehingga mereka senantiasa bersemangat ketika bekerja.
Pada suatu tingkatan tertentu, seseorang harus rela untuk melepaskan pekerjaan, kekuasaan, atau jabatan yang dimiliki selama ini misalnya ketika pensiun. Pensiun merupakan suatu tahapan yang alami oleh hampir semua individu yang bekerja. Individu dalam menghadapi masa pensiun memiliki respon yang berbeda.
Individu mengartikan pensiun sebagai pengalaman yang menyenangkan apabila individu merasa masa pensiunnya bermanfaat untuk melakukan kegiatan yang menarik dan menyelesaikan tugas- tugas yang tertunda akibat bekerja. Namun individu yang melekatkan identitas dirinya pada pekerjaan serta individu yang menjalani masa pensiunnya dengan terpaksa akan menjalani masa pensiun dengan perasaan tidak berguna, ketergantungan dan merasa bahwa kehidupannya telah berakhir. Hal ini lah yang membuat post-power syndrome menjadi kerap dialami oleh lansia.
Menurut, Suadirman(2011), salah satu faktor yang mempengaruhi post-power syndrome adalah penyesuaian diri. Lansia yang memiliki penyesuaian diri yang baik terhadap pensiun adalah individu yang sehat, memiliki pendapatan yang layak, aktif, berpendidikan baik, memiliki relasi sosial yang luas termasuk diantaranya teman dan keluarga, dan biasanya merasa puas dengan kehidupan sebelum pensiun. Individu memerlukan dukungan sosial dari relasi yang dibangun untuk menghadapi masa transisi agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Namun jiak tidak, mereka cenderung mengalami post-power syndrome.
Salah satunya adalah ER, pria lansia yang berprofesi sebagai pengacara dulunya. Ia mengatakan kepada tim Goelderly bahwa ia sangat menikmati masa-masa ketika ia bekerja mulai dari berhadapan dengan kasus. Ia juga bersemangat setiap kali melakukan pekerjaannya selama hampir 30 tahun. Semenjak ia pensiun, ia merasa bahwa ada perubahan dalam dirinya misalnya kini ia lebih sensitif kepada keluarganya saat ini. Ia juga kebingungan aktivitas apa yang harus dilakukan pada masa pensiunnya.
“Saya bingung harus malakukan apa sekarang karena yang membuat saya bersemangat adalah bekerja. Dan sangat jauh berbeda dengan apa yang saya lakukan ketika di kantor,” ujarnya pada Rabu, (23/10).
Tak hanya ER, DEW yang merupakan perempuan lansia berusia 68 tahun juga mengalami hal yang serupa. Ia memutuskan untuk pensiun karena faktor kesehatan. Namun, ia merasa bahwa tubuhnya semakin melemah karena ia tidak melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan. Ia merasa dirinya lebih sering sakit kepala dibandingkan yang lain.
“Nggak tahu apa itu sebenarnya post-power syndrome, tapi kadang saya kangen siang-siang begini mengajar anak-anak,” jelasnya pada Rabu, (23/10).
Dukungan sosial yang diterima oleh seseorang akan sangat mempengaruhi cara individu menyesuaikan diri dengan masa pensiunnya. Individu yang menerima dukungan sosial memadai lebih memungkinkan untuk berhasil dalam penyesuaian diri terhadap masa pensiunnya. Hal yang harus dilakukan untuk mengatasi hal ini yaitu memahami bahwa penderita terkadang tidak menyadari gejala yang dialami sehingga anggota keluarga harus belajar menerima dan tidak menanggapi sensitivitas. Selain itu keluarga juga dapat membuat kegiatan yang memberdayakan lansia untuk menyalurkan emosi negatif atau ketidakpuasan hidup secara lebih konstruktif. Dukungan psikologis dari keluarga juga dapat berupa memberikan akses kepada psikolog.
Referensi:
Cigna (2020). Ketahui Potensi Post-Power Syndrome Anda. Retrieved from https://www.cigna.co.id/health-wellness/ketahui-potensi-post-power-syndrome-anda
Suardiman, S. P. (2011). Psikologi lanjut usia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Comentários