top of page

Empty Nest Syndrome: Mengapa Terjadi?

Amino Aytiwan Remedika

Perasaan sedih melanda sepasang lansia ketika mereka kembali hidup berdua saja di rumah. Sang anak sudah pergi, meniti karir dan meraih mimpinya. Seharusnya, mereka merasa senang, bukan? Sang anak sudah cukup dewasa dan bisa hidup sendiri di dunia ini? Bukankah hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah orang tua yang berhasil?


Sayangnya, perasaan dan pikiran manusia tidak sesederhana itu. Terdapat sebuah keadaan yang dikenal dengan Empty Nest Syndrome, alias Sindrom Sangkar Kosong, dan keadaan ini lah yang mungkin sedang dialami oleh sepasang lansia tersebut. Sindrom ini ditandai oleh perasaan sedih yang dirasakan orang tua ketika sang anak pergi meninggalkan rumah.


Perasaan sedih ini sangat normal untuk dirasakan orang tua. Namun, apabila terlalu berlarut-larut dalam kesedihan, dapat disebut sebagai sebuah sindrom. Walaupun semua orang tua dapat mengalami sindrom ini, ada beberapa faktor yang dapat membuat seseorang menjadi lebih rentan. Tentunya, yang akan disebutkan adalah selain perubahan-perubahan hidup yang biasa terjadi pada lansia, misalnya pensiun atau kematian orang yang disayang.


Ketika orang tua melihat perubahan sebagai stress, hal ini dapat memengaruhi kemampuan mereka dalam mengatasi kesedihan mereka. Akibatnya, mereka bisa melihat keadaan rumah mereka yang berubah sebagai lingkungan yang membuat stress dan akhirnya berlarut-larut dalam perasaan tidak enak tersebut.


Faktor lain adalah ketika seseorang merupakan orang tua full-time, alias mendedikasikan waktu dan tenaganya untuk anak dan tidak bekerja sama sekali. Ketika anak mereka pergi, mereka dapat merasa kehilangan tujuan hidup dan identitas diri. Selain itu, mereka bisa stress karena merasa anaknya belum bisa terjun di dunia orang dewasa, dan hal ini membuat mereka khawatir. Orang tua full-time pun menjadi rentan untuk merasakan sedih yang berkelanjutan.


Lebih lanjut, apabila pernikahan dari orang tua kurang memuaskan atau kurang stabil, hal ini dapat memicu perasaan sedih. Perginya anak mereka “memaksa” mereka untuk akhirnya hidup berdua lagi seperti sebelum memiliki anak.


Berbagai hal dapat dicoba untuk dilakukan dalam mencegah terjadinya sindrom ini. Seorang orang tua dapat mencoba untuk mencari hobi baru atau mengikuti komunitas baru agar mempunyai kegiatan sehari-harinya, terlebih jika orang tua tersebut full-time di rumah. Orang tua juga dapat mencoba membangun pertemanan dengan kawan-kawan mereka. Atau, mereka juga dapat mencoba membangun hubungan dengan pasangan seperti sedia kala. Dan yang tak kalah penting, orang tua sebaiknya mengakui perasaan sedih yang dimiliki dan coba mendiskusikannya dengan orang yang dipercaya. Hal ini dapat membantu diri untuk menerima keadaan dan “melanjutkan hidup” sebagaimana mestinya.



Hal yang terlihat simpel, tapi sebenarnya rumit dan menyedihkan. Perginya anak dari rumah yang dianggap sehat, ternyata dapat menimbulkan perasaan sedih yang tidak diinginkan. Maka dari itu, mari kita tingkatkan kesadaran kita akan perasaan yang dimiliki, apakah sedih ini terlalu berlarut atau tidak. Cegah dengan cara-cara yang bisa dilakukan untuk membuat nyaman diri.


Ingat selalu bahwa hidup akan selalu berjalan, dan sedih berkelanjutan dapat membuat semuanya menjadi abu.

Bad things do happen; how I respond to them defines my character and the quality of my life. I can choose to sit in perpetual sadness, immobilized by the gravity of my loss, or I can choose to rise from the pain and treasure the most precious gift I have – life itself.

-Walter Anderson




Referensi:


Recent Posts

See All

Comments


Subscribe Form

Thanks for submitting!

+6281378253185

©2020 by Go-Elderly. Proudly created with Wix.com

bottom of page